Up | Down

Total Tayangan Halaman

 

Perempuan Payau

~ ~
  

Perempuan seringkali menjadi kaum yang tersingkirkan oleh segala kepentingan dalam kehidupan. Kepentingan, baik secara ekonomi, budaya, sosial maupun hukum.

Bila melihat dari peran perempuan dalam kehidupan, maka satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah, kaum perempuanlah  yang menjadi tulang punggung perekonomian bangsa ini. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya keterlibatan  perempuan dalam berbagai bidang pekerjaan, walaupun umumnya berasal dari kelas dua.

Di Takengon, Aceh Tengah, ratusan perempuan mengangkat beban berat dipunggungnya dan menjajakan barang dagangan setiap pagi buta di sebuah sudut pasar. Puluhan perempuan beradu dengan debu-debu dan sampah dijalan raya di kota dingin ini.


Para perempuan itu bukan hendak menunjukan ketangguhannya pada dunia, tapi mereka melakukan ini demi sebuah keharusan, demi sesuap nasi, demi keluarga, demi anak, dan demi yang lainnya.

Pagi masih belum tertutup gelap, Empus Talu, Takengon, seorang  perempuan tua terlihat berjalan seorang diri. Di pundaknya, sebuah keranjang berukuran sedang berayun pelan ke kanan kini, maish kosong. Langkah kakinya terlihat menekan tanah meninggalkan bekas berbentuk tapak kaki menidurkan rumput-rumput liar berukuran kecil.

Dinginnya udara pagi bukan menjadi penghalang bagi perempuan itu. Seperti pagi-pagi sebelumnya, dirinya segera menuju payau untuk memetik genjer yang tumbuh liar. Sambil berhati-hati serta melepas sandal yang ia kenakan, mulailah ia masuk kedalam payau. Membenamkam kakinya ke dalam lumpur. Satu persatu genjer liar itu dipetik. Perempuan tua itu akan keluar dari payau berlumpur itu setelah keranjangnya penuh.

Genjer itu menjadi penopang kehidupannya. Karena, setelah dipetik akan segera dijual di pasar pagi, Takengon, Aceh Tengah. Itulah salah satu rutinitas yang harus dijalani Mak Tania. Usianya telah menginjak 75 Tahun. Genjer liar merupakan lahan hidupnya selama ini, karena Mak Tanih seorang janda dan hidup sebatangkara. Payau tempat memetik genjer itu bukanlah miliknya, melainkan milik penduduk setempat, berupa areal persawahan yang tidak diurus dan dibiarkan terbengkalai.

Saat musim kemarau adalah saat-saat tersulit bagi Mak Tania. “Lahan Kehidupannya” menjadi kering karena tidak ada air, sedangkan genjer hanya hidup di lahan yang berair.
Jika kondisi seperti itu, maka Mak Tania akan mencari tumbuhan lainnya yang bisa dijual, misalnya kankung liar dan sejenisnya. Bahkan sesekali Mak Tania menerima bantuan dari masyarakat.
Namun Mak Tania bukanlah sosok yang membutuhkan belas kasihan orang lain, karena dirinya lebih menyukai bekerja daripada menerima. Karena itu, jika ada penduduk setempat yang mengajaknya untuk memetik kopi, maka dengan senang hati Mak Tania akan membantu. Dari pekerjaan itulah Mak Tania bisa mempertahankan dapurnya untuk tetap berasap.
Dengan usia yang telah lanjut, tentu kesehatan Mak Tania sangat rentan. Dan hal ini diakui Mak Tania. Kakinya sering terasa kejang dan ngilu bila hendak tidur. Akan tetapi bila setelah minum obat rematik yang dibelinya di apotik, rasa ngilu itu berkurang.
Mak Tania sebenarnya memiliki anak, namun anak-anaknya jauh dan jarang menjenguknya, begitu pula dengan keluarga besarnya. Tanah untuk menjadi lahan berkebun pun tak dimiliki Mak Tania.
Karena itu, payau di sekitar rumahnya menjadi tumpuan utama Mak Tania. ”Saya dapat merasakan dinginnya embun yang melekat dirumput-rumput tajam, merasakan perih saat duri-duri melekat dikaki. Saya merasakan dingin yang membeku. Tapi saya tetap harus melakukannya,” ujar Mak Tania, matanya mulai terlihat berkaca-kaca.
Dalam sehari, bila sedang baik, seluruh genjer bisa habis terjual, namun tidak jarang Mak Tania harus membawa pulang genjer yang dipetiknya, karena tak laku di pasar.

Kegiatan memetik genjer ini terus ia lakukan. Sering, tanaman liar itu habis karena dipetik setiap pagi olehnya. Jika sudah begini, kerapkali ia mengandalkan hasil tanaman dikebun-kebun tetangga yang berbaik hati untuk dijual kepasar. Misalnya labu siam, labu jepang, jeruk nipis dan lain-lain dengan sistem bagi dua, separuh untuk pemilik kebun dan separuhnya lagi untuk Mak Tania.
Kondisi Mak Tania sungguh memprihatinkan. Bila genjer tidak laku tentu menjadi masalah bagi Mak Tania, karena ia harus mengeluarkan ongkos becak untuk pergi dan pulang dari pasar.
Permasalahan lainnya, bagaimana jika suatu saat si pemilik payau itu ingin mengolah tanahnya atau mendirikan bangunan diatas lahan yang menjadi lahan mata pencaharian Mak Tania? Ke payau mana lagi Mak Tania harus berburu genjer?
Jika kondisi itu terjadi, Mak Tania hanya bisa pasrah. Namun dirinya berusaha tetap tabah menjalani semua kondisi ini. ”Yang pasti, saya akan melakukan apa yang masih bisa saya lakukan, misalnya bekerja dikebun orang lain atau mencuci pakaian tetangga,” ujarnya tenang.
Melihat kondisi Mak Tania, ternyata aparat desa setempat tidak tinggal diam. karena, aparat desa menjadikan Mak Tania selalu dimasukkan sebagai penerima bantuan, apakah Bantuan Langsung Tunai (BLT), raskin atau sejenisnya.
Sebenarnya, menjadi perempuan payau bukanlah keinginan Mak Tania, namun kehidupan telah mengantarnya kesana. Dan dirinya ternyata tetap kuat dan mampu bersabar.

0 komentar :

Posting Komentar