Note : Khusus Rubrik Suara Hati IPaK, kami
mengharapkan masukan pembaca untuk memberi solusi terhadap masalah yang tengah
dihadapi nara sumber. Bisa jadi, solusi yang anda berikan menjadi motivasi nara
sumber untuk kembali semangat menjalani hidup.
Winda (bukan nama
sebenarnya), hanya bisa mengelus dada. Wanita berusia 36 tahun ini masih saja
mengutuk dirinya sendiri. Hari-harinya pun lebih banyak dihabiskan di dalam
rumah. Emosinya mudah meluap-luap tanpa sebab yang jelas. Ada rasa kesal,
benci, malu dan menyesal.
Saat emosinya memuncak,
dirinya hanya bisa merutuk diri sendiri. "Tuhan, mengapa Aku harus
mengalami semua ini," ratapnya.
Apa yang menyebabkan Winda
seperti itu? Kepada IPaK ia menuturkan segalanya pada awal Ramadhan 2015
lalu.
-----
Sejak awal, perkenalan
Winda dengan Ruhdi (Bukan nama sebenarnya) sudah melihat gelagat yang tidak
enak. Mulai dari penampilan, cara bicara terlihat kurang tata krama. Tapi
karena ia menganggap Ruhdi masih muda, bisa saja sifatnya itu berubah. Oleh
sebab itu, ia pun tidak bisa menolak ketika remaja 17 tahun itu menjadi pacar
anaknya, Tira (bukan nama sebernarnya).
Usia Tira sama dengan usia
Ruhdi, karena keduanya sama-sama berasal dair satu sekolah dan satu kelas di
salah satu sekolah menengah atas di Takengon..
"Sejak pertama bertemu
itu, Ruhdi sering datang ke rumah untuk bertemu Tira," kenang Winda sambil
menatap gambar Tira dari layar handphone. Matanya sedikit sembab.
Hari berganti minggu, lalu
bulan. Semuanya masih terlihat normal. Hanya satu yang berbeda. Bila dulu
Ruhdi masih malu-malu, kini sudah mulai berani masuk ke kamar Tira. Walau sudah
memarahi Tira, anaknya, namun tetap saja Ruhdi nekat datang saat dirinya berada
di kebun.
Melihat kondisi tersebut,
bahkan Winda sudah pernah memberi pelajaran kepada Tira dengan tidak memberinya
masuk sekolah selama tiga hari. Namun keadaan itu ternyata sama saja.
“Sejak itu saya selalu
mengawasi mereka berdua. Karena, bila ada saya, Ruhdi tidak pernah berani masuk
ke kamar Tira,” ungkap Winda dengan suara sedikit tinggi.
Pergaulan bebas saat ini
yang telah merenggut banyak generasi muda di Indonesia telah membuat Winda
khawatir. “Saya seperti orang tua lainnya. Pergaulan remaja saat ini juga
membuat saya khawatir. Takut, bila-bila Tira terjerumus pergaulan bebas,”
sambungnya.
Nyatanya, sekuat apapun
Winda berusaha menjaga agar tetap dapat mengawas Tira anak sulungnya, namun,
pada kenyataannya, tetap saja sulit. Karena Winda dan suaminya tidak mungkin
mengawasinya selama 24 jam. Masing-masing anggota keluarga memiliki tugas dan
peran masing-masing.
Benar saja. Apa yang
menjadi kekhawatirannya terbukti.
Tengah malam, tepatnya
januari 2014 silam, dari dalam kamarnya, samar-samar, WInda mendengar suara
tangisan perempuan. Suaminya sempat berfikir, tangisan di tengah malam itu
adalah tangisan yang berasal dari makhluk astral yaitu kuntilanak.
Tapi, setelah di dengar
dengan baik-baik, ternyata suara itu berasal dari samping kamarnya, yaitu kamar
Tira.
“Saat itu saya dan suami
masih berfikir sehat. Kami menganggap Tira sedang ketakutan atau tidak mampu
tidur karena besok ujian,” ujar Winda, mengingat tangisan malam itu.
Tapi tangisan itu membuat
Winda dan suaminya penasaran. Karena Tira tidak juga berhenti menangis hingga
memaksa dirinya bangkit dari tempat tidur dan menemui Tira.
Tira tidak bisa
mengeluarkan suara. Ia terus menangis walau Winda sudah membujuknya untuk
berterus terang apa yang terjadi. Bahkan saat suaminya turut masuk kekamar
anaknya itu, Tira tetap bungkam. Kondisi itu mau tak mau membuat Winda
penasaran.
Winda mengatakan, tiga
puluh menit lebih ia menunggu anaknya untuk bicara. Ia tetap bersabar menunggu.
Karena selama ia melahirkan Tira, baru kali ini dirinya melihat kejanggalan
pada anaknya itu.
Akhirnya, Winda pun ikut
menangis. Ada rasa takut dalam hatinya. Entah apa yang terjadi pada anaknya
itu.
Melihat sang ibu menangis,
akhirnya Tira pun buka mulut. Setelah menengguk segelah the panas, Tira –dengan
sura pelan dan takut-takut—menjelaskan apa yang telah terjadi. “Tira Hamil, ma,”
ucap Tira terbata-bata.
Mendengar ucapan tersebut,
seketika Winda merasa pusing hingga jatuh pingsan. Dirinya tidak siap dengan pengakuan
Tira. Melihat sang ibu pingsan, Tira pun kembali menangis. Kali ini tangisannya
semakin keras hingga membangunkan kedua adiknya yang masih terlelpa tidur di
kamar lain.
“Saya belum siap. Saya benar-benar
tidak siap dengan apa yang terjadi pada anak saya. Bahkan suami saya pun
langsung jatuh sakit. Kami berdua seperti menjadi orang gila. Tidak tahu apa
yang harus di lakukan. Apa tindakan kami. Semuanya seperti buntu,” jelas Winda.
Beruntunglah salah seorang
family datang berkunjung. Akhirnya, jalan keluar pun dapat di cari demi
kebaikan bersama.
Sangat di lematis, sebut
Winda. Satu sisi dirinya ingin Winda segera menikah demi anak di dalam
perutnya. Satu sisi ia harus selesai sekolah terlebih dahulu, karena hanya
tinggal beberapa bulan lagi anaknya itu tamat sekolah menegah pertama. Di lain
pihak, setelah mengetahui siapa yang menghamili anaknya, dirinya pun tidak siap
menerima Ruhdi sebagai calon menantunya.
“Bagaimana saya menerima
Ruhdi. Jangankan untuk mengurus Tira anak saya, mengurus dirinya saja ia belum
bisa. Bahkan makan pun masih numpang dengan orang tuanya. Saya stress
memikirkan jalan apa yang harus diambil. Saya benci sekali dengan anak itu (Ruhdi),”
rutuk Winda.
Winda kembali mengamati
wajah anaknya. Beberapa lembar foto diamati bergantian. Handphone di tangannya
tidak pernah lepas dari tangannya. Setelah menatap foto-foto itu, ia kembali
bercerita.
Setelah rapat keluarga,
akhirnya Winda dan suaminya (beserta Tira)a mendatangi rumah Ruhdi untuk
meminta pertanggungjawaban. Bagaimanapun, demi kebaikan anaknya, Winda berusaha
rela menerima Ruhdi menjadi calon menantunya.
Harapan besar itu ia bawa
ke rumah Ruhdi. Namun sesampainya di rumah calon besannya di daerah kebayakan,
Aceh Tengah, tersebut, justru bukan sambutan hangat yang di terima. Kedua orang
tua Ruhdi menolak untuk menikahkah anaknya. Alasannya karena Ruhdi masih
sekolah dan harus melanjutkan pendidikan setelah tamat sekolah.
Alasan orangtua Ruhdi tentu
saja membuat Winda berang. Dengan lantang Winda mengancam Ruhdi secara hukum
bila tidak menikahi Tira.
Ternyata ancaman Winda
tersebut membuat keluarga Ruhdi ketakutan. Akhirnya mereka sepakat menikahkan Ruhdi
dengan Tira. Tapi dengan satu syarat, pernikahan harus dilakukan setelah tamat
sekolah yang hanya menyisakan dua bulan saja.
Lagi-lagi Winda berang dan
tidak setuju. Kembali Winda mengancam dan berhasil. Pernikahan pun dilaksanakan
seminggu setelah pertemuan itu. Pernikahan pun tidak diadakan secara
besar-besaran. “Hanya sedikit kendhuri. Saya tidak berani mendengar selentingan
tetangga terhadap anaknya yang menikah saat masih sekolah. Hal ini dilakukan
agar pihak sekolah tidak mengetahui pernikahan Tira agar tetap dapat sekolah
hingga meraih ijazah,” ungkap Winda menjelaskan proses pernikahan anaknya.
Ketika acara pernikahan, di
mana setiap orang yang berada di sana dalam suasana suka cita, justru
sebaliknya dengan Winda. Ia hanya mengurung diri di dalam rumah.
Dua bulan setelah
pernikahan, Tira dan Ruhdi tamat sekolah. Kembali, hari bahagia yang seharusnya
dirayakan suka cita justru harus dilewatkan dengan air mata. Secara resmi,
Ruhdi menceraikan Tira.
“Sangat menyakitkan. Saya dan
Tira akhirnya sering berantem setelah ia cerai. Kami saling salah menyalahkan,”
ungkap Winda mengingat hari-hari setelah perceraian Tira.
Bahkan Tira pun tidak lagi
mau melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Walau WInda dan suaminya sudah
berkali-kali meminta anaknya itu untuk kuliah demi masa depannya. Apalagi setelah
dirinya menjadi janda. Padahal, perut Tira sudah mulai membesar. Kondisi inilah
yang menambah rumitnya pikiran Winda.
Sebab, selama ini, para
tetangga tidak mengetahui Tira sudah menikah justru sudah hamil. “Banyak
pertanyaan tetangga yang membuat saya sakit hati. Kapan menilahkanya, siapa
suaminya, dan pertanyaan lainnya yang membuat saya stress berat,” jelas Winda
ketika para tetangga mempertanyakan kondisi anaknya.
Keributan kerap terjadi di
rumah. Tidak pagi, siang, sore, bahkan malam pun rumahnya hanya di isi dengan
keributan, antara dirinya dengan Tira hingga terkadang dengan suaminya.
Puncaknya, Tira pergi
meninggalkan rumah. Dan hingga kini tidak pernah lagi kembali. “Tira berani
sumpah tidak akan pernah menginjakkan kaki ke rumah mama lagi,” demikian is
isms Tira sebelum meninggalkan rumah.
Winda tak mampu menahan air
mata bila membaca sms itu. Sebab, Tira melarikan diri ke rumah kakak sepupunya
di luar kota yang bekerja sebagai piñata rias di salon. Walau dirinya tahu di
mana anaknya berada (sudah pernah mendatanginya) namun Tira tetap tak mau
bertemu.
Winda tak pernah lagi
berkebun. Kerja keranya berkebun hanya untuk membiayai Tira sekolah dan kuliah.
Kini anaknya telah pergi dan meninggalkan luka. Hari-hari pun dilalui Tira
dengan marah, menangis dan tidur. Dan entah sampai kapan itu terjadi?
1 komentar :
keren bang
Posting Komentar