Diantara
pergantian waktu, perempuan selalu setia dalam kodratnya. Melahirkan,
Membesarkan anak, mengurusi keluarga, hingga urusan kecil lainnya dalam
kehidupan rumah tangga.
Namun
kini, selain perkara diatas, perempuan juga seperti “Diharuskan” dan “wajib”
untuk membantu ekonomi keluarga, membiayai kebutuhan dapur hingga pendidikan
anak. Jika tidak mampu, maka sedikit “ancaman” hidup harus siap dihadapi. Salah
satunya adalah jodoh.
Namun
begitu, beratnya kehidupan yang harus dijalani, bukan berarti perempuan menjadi
lemah, justru mereka akan semakin kuat, karena dia harus membesarkan
anak-anaknya, memberi pendidikan kepada anak-anaknya. Hidup tetap harus
dijalani, walau tubuh semakin ringkih dimakan usia.
Hal
ini pula yang dirasakan Muniar (Bukan nama sebenarnya, red). Perempuan 45 tahun
ini harus merelakan waktunya terkuras dalam urusan mencari ekonomi. Perempuan
yang tinggal di Bale Bujang, Kecamatan Lut Tawar, Aceh Tengah, ini harus
membanting tulang untuk membantu suaminya sebagai pencari ikan.
Bila
Adzan Subuh telah berkumandang, Muniar sudah bersiap-siap untuk menyusuri
jalan-jalan besar di kota ini. setelah menyiapkan sarapan pagi untuk ke empat
anaknya yang masih sekolah, ia pun berangkat dengan membawa sapu lidi.
Mengenakan baju berwarna orange bertuliskan Dinas Kebersihan,
Ia pun bergerak dan memberishkan setiap jengkal jalan raya yang sudah
menjadi bagiannya untuk dibersihkan.
Terkadang,
karena terlambat bangun, ia pun tak sempat sarapan pagi dan hanya meninggalkan
nasi dalam periuk di perapian kayu untuk anak-anaknya. Antara lapar dan menahan
dinginnya Kota Takengon, adalah kehidupan yang harus dijalaninya.
Setelah
pulang dari bekerja, Muniar pun pulang. Ia segera menyiapkan makan siang untuk
keluarga, lalu kembali bekerja dengan membawa ikan hasil tangkapan suaminya di
danau Lut Tawar. terkadang, karena semakin besar masyarakat sudah manja,
dirinya pun harus rela menyiangi ikan-ikan yang dibawanya agar laku. “Banyak
pembeli ingin terima bersih, ikan harus sudah disiangi,” Ujar Muniar pasrah.
Padahal,
ia sudah lelah menyusuri sudut-sudut jalan sempit untuk menawarkan ikan
tersebut. Jadi, daripada tidak ada yang beli, maka ia pun rela membersihkan
ikan-ikan tersebut. Walau kadang duri-duri menusuk tangannya, namun itulah
resiko yang harus dihadapi. Sayangnya, setelah ikan dibersihkan, pembeli jarang
sekali menambah uang atas jasanya tersebut, justru masih meminta harga ikan
dikurangi.
“Terkadang
sedih, sudah berjalan jauh, waktu habis untuk membersihkan ikan, tapi pembeli
tetap meminta harga ikan murah,” ungkap Muniar.
Kondisi
Muniar belumlah seberapa. Karena, IPaK menemui kondisi perempuan Gayo yang
lebih menyedihkan di daerah lainnya, seperti Isak, Linge bahkan
perempuan-perempuan di wilayah Lokop, Aceh Timur, yang mayoritas penduduknya
bersuku Gayo.
Di
Linge dan beberapa daerah di Lokop, seorang perempuan harus siap menjadi petani
di sawah, berkebun, menumbuk padi dan lainnya. Walau masa hidupnya -mungkin-
belum pernah melakukan hal itu, namun saat telah berkeluarga, perempuan disana
harus siap dengan sekala kondisi. Tidak peduli, apakah sedang hamil atau tidak,
apakah sedang kurang sehat atau tidak. Mereka harus siap, sambil membesarkan
anak-anak mereka.
Di
daerah Ketol, perempuan-perempuan harus siap mendampingin suami untuk mencari
nafkah. perempuan-perempuan muda itu bahkan harus menggendong anaknya yang
masih bayi, menuju kebun. Perempuan-perempuan tua berusaha mencari tambahan
uang dengan menjadi buruh di sawah-sawah untuk membiayai anak-anaknya yang
sedang sekolah ataupun kuliah.
Perempuan
seperti tidak mampu meminta dan memberi pilihan untuk hidup dan masa depannya.
Perempuan harus siap menjalani kehidupan yang berat. Mau tidak mau, siap tidak
siap, sebagian besar perempuan di negeri ini nyaris tidak ada pilihan.
0 komentar :
Posting Komentar