Up | Down

Total Tayangan Halaman

 

Perempuan Gayo Diantara Serpihan Zaman

~ ~

Perempuan, dalam kehidupan, acap kali menjadi bagian marginal yang tak tertulis. Antara sengaja dan tidak. Tidaklah mengherankan, bila perempuan menjadi bagian nomor dua bahkan nomor tiga dalam kehidupan. Tidak terkecuali perempuan Gayo.

Diantara pergantian waktu, perempuan selalu setia dalam kodratnya. Melahirkan, Membesarkan anak, mengurusi keluarga, hingga urusan kecil lainnya dalam kehidupan rumah tangga.

Namun kini, selain perkara diatas, perempuan juga seperti “Diharuskan” dan “wajib” untuk membantu ekonomi keluarga, membiayai kebutuhan dapur hingga pendidikan anak. Jika tidak mampu, maka sedikit “ancaman” hidup harus siap dihadapi. Salah satunya adalah jodoh.

Jika telah berumahtangga, kehidupan harus terus dijalani, baik di dapur, kasur hingga ekonomi. Semua harus dijalani dan terus dijalani, bahkan jika sang suami telah tiada.


Namun begitu, beratnya kehidupan yang harus dijalani, bukan berarti perempuan menjadi lemah, justru mereka akan semakin kuat, karena dia harus membesarkan anak-anaknya, memberi pendidikan kepada anak-anaknya. Hidup tetap harus dijalani, walau tubuh semakin ringkih dimakan usia.

Hal ini pula yang dirasakan Muniar (Bukan nama sebenarnya, red). Perempuan 45 tahun ini harus merelakan waktunya terkuras dalam urusan mencari ekonomi. Perempuan yang tinggal di Bale Bujang, Kecamatan Lut Tawar, Aceh Tengah, ini harus membanting tulang untuk membantu suaminya sebagai pencari ikan.

Bila Adzan Subuh telah berkumandang, Muniar sudah bersiap-siap untuk menyusuri jalan-jalan besar di kota ini. setelah menyiapkan sarapan pagi untuk ke empat anaknya yang masih sekolah, ia pun berangkat dengan membawa sapu lidi. Mengenakan baju berwarna orange bertuliskan Dinas Kebersihan,  Ia pun bergerak dan memberishkan setiap jengkal jalan raya yang sudah menjadi bagiannya untuk dibersihkan.

Terkadang, karena terlambat bangun, ia pun tak sempat sarapan pagi dan hanya meninggalkan nasi dalam periuk di perapian kayu untuk anak-anaknya. Antara lapar dan menahan dinginnya Kota Takengon, adalah kehidupan yang harus dijalaninya.

Setelah pulang dari bekerja, Muniar pun pulang. Ia segera menyiapkan makan siang untuk keluarga, lalu kembali bekerja dengan membawa ikan hasil tangkapan suaminya di danau Lut Tawar. terkadang, karena semakin besar masyarakat sudah manja, dirinya pun harus rela menyiangi ikan-ikan yang dibawanya agar laku. “Banyak pembeli ingin terima bersih, ikan harus sudah disiangi,” Ujar Muniar pasrah.

Padahal, ia sudah lelah menyusuri sudut-sudut jalan sempit untuk menawarkan ikan tersebut. Jadi, daripada tidak ada yang beli, maka ia pun rela membersihkan ikan-ikan tersebut. Walau kadang duri-duri menusuk tangannya, namun itulah resiko yang harus dihadapi. Sayangnya, setelah ikan dibersihkan, pembeli jarang sekali menambah uang atas jasanya tersebut, justru masih meminta harga ikan dikurangi.

“Terkadang sedih, sudah berjalan jauh, waktu habis untuk membersihkan ikan, tapi pembeli tetap meminta harga ikan murah,” ungkap Muniar.

Kondisi Muniar belumlah seberapa. Karena, IPaK menemui kondisi perempuan Gayo yang lebih menyedihkan di daerah lainnya, seperti Isak, Linge bahkan perempuan-perempuan di wilayah Lokop, Aceh Timur, yang mayoritas penduduknya bersuku Gayo.

Di Linge dan beberapa daerah di Lokop, seorang perempuan harus siap menjadi petani di sawah, berkebun, menumbuk padi dan lainnya. Walau masa hidupnya -mungkin- belum pernah melakukan hal itu, namun saat telah berkeluarga, perempuan disana harus siap dengan sekala kondisi. Tidak peduli, apakah sedang hamil atau tidak, apakah sedang kurang sehat atau tidak. Mereka harus siap, sambil membesarkan anak-anak mereka.

Di daerah Ketol, perempuan-perempuan harus siap mendampingin suami untuk mencari nafkah. perempuan-perempuan muda itu bahkan harus menggendong anaknya yang masih bayi, menuju kebun. Perempuan-perempuan tua berusaha mencari tambahan uang dengan menjadi buruh di sawah-sawah untuk membiayai anak-anaknya yang sedang sekolah ataupun kuliah.

Perempuan seperti tidak mampu meminta dan memberi pilihan untuk hidup dan masa depannya. Perempuan harus siap menjalani kehidupan yang berat. Mau tidak mau, siap tidak siap, sebagian besar perempuan di negeri ini nyaris tidak ada pilihan.







0 komentar :

Posting Komentar