Up | Down

Total Tayangan Halaman

 

Beras di Belakang Pintu

~ ~

Kebiasaan Emak dan almarhum Bapak yang sangat dikenal adalah memberi makan. Kepada siapa saja dan kapan saja, rumah Emak ibarat warung bagi siapapun. Bagi saudara, teman anak-anak Emak, teman Bapak dan para tetangga. Semuanya makan apa yang kami makan di rumah. Tidak ada perbedaan antara anak tetangga ataupun anak sendiri.

Selepas menjalani pendidikan, aku dan beberapa temanku ditugaskan di Polda Sumatera Utara.  Mereka tidur dan makan sebagaimana yang aku lakukan tanpa ada perbedaan. Begitu pula yang Emak lakukan terhadap teman-temanku. Jika teman-teman sakit dan membutuhkan bantuan, Emak akan ada disamping kami.

Emak menyadari jika perwira-perwira muda itu belum memiliki gaji dan belum ditempatkan di kesatuan. Hari-hari yang kami lalui pun hanya sekedar melapor ke Polda setiap paginya, begitupun pada sore harinya. Kami semua masih menunggu untuk di tempatkan.

“Mereka makan dan tinggal disini lama sekali, tapi Emak tak pernah mempersoalakannya. Setiap pagi Emak pergi ke pasar, belanja dan mamasak untuk mereka, tetapi Emak tidak pernah meminta sepeserpun uang dari mereka. Emak ikhlas dan mereka semua sudah Emak anggak seperti anak sendiri,” kata Emak.

“Emak yang beri makan mereka sebelum mereka dapat gaji,” tambah Emak, mengenang teman-temanku.

Pernah suatu hari Emak membeli beras satu karung untuk kebutuhan di rumah. Setiap memasak, Emak mengambil beras tersebut. Dan beras itulah yang di makan Willy dan teman-teman lainnya. Tetapi alangkah terkejutnya Emak, beras itu tidak pernah habis meskipun dimasak setiap hari. Padahal di rumah sangat banyak orang.

Saat itu Emak merasa bingung. Setiap Emak ingin memasak, mengapa beras tidak habis-habis. Padahal sudah lama sekali Emak tidak beli beras. Berbulan-bulan Emak tidak beli beras. Hal ini seperti keajaiban, karena sangat mustahil setiap hari di masak tetapi berasnya tidak pernah habis.

Hal itu selalu menjadi pertanyaan dalam benak Emak. Tapi Emak tidak pernah menceritakan kejadian aneh itu kepada siapapun dirumah. Emak mencoba menanyakan hal tersebut kepada salah seorang saudara yang kebetulan memiliki pemahaman agama. Perihal beras itu Emak ceritakan.

Mendapat pertanyaan tersebut, saudara Emak tadi pun terkejut dan berkata ; “Aduh Makcik, itu namanya berkah. Jangan di sebut-sebut, nanti nggak berkah lagi. Makcik berbuat baik kepada orang, memberi makan orang lain, itu yang buat beras di rumah Makcik nggak habis-habis”.

“Oo.. begitu ya, aku ngak tau,” jawab Emak polos.

Ternyata apa yang dikatakan saudara Emak benar adanya. Keesokan harinya, saat Emak ingin memasak nasi, ketika Emak hendak mengambil beras yang di simpan di belakang pintu, Emak sangat terkejut, beras hanya tinggal untuk sekali masak, padahal kemarin beras itu masih banyak. Emak pun teringat pada perkataan saudaranya kemarin.

“Mungkin karena Emak cerita hal itu kepada orang, beras itu jadi habis. Gak berkah lagi,” gumam Emak dalam hati.

Semenjak saat itu Emak tidak pernah menceritakan hal itu kepada siapapun. Namun, bulan-bulan selanjutnya, beras di rumah rasanya cepat sekali habis. Emak harus membelinya setiap bulan.

Pengalaman yang Emak alami itu telah memberi pelajaran berharga bagi Emak, bahwa kebaikan tidak perlu disampaikan kepada orang lain. Karena kebaikan itu Allah yang membalasnya, bukan manusia.

Walau pun begitu, apa yang telah dilakukan selama ini tetap Emak lanjutkan. Memberi makan kepada siapa saja, tanpa membedakan makanan untuk anak kandung maupun anak-anak tetangga atau teman-temanku yang lainnya.

Beberapa teman kecilku masih mengingat bagaimana Emak dan Bapak melayani mereka. Anak-anak di sekitar rumah Emak undang untuk makan beramai-ramai. Emak dan Bapak tetap duduk sambil mengamati anak-anak yang sedang makan dengan lahapnya.

Emak dan Bapak tidak akan beranjak sampai semuanya selesai. “Bapak akan duduk bersama anak-anak. Jika ada anak-anak yang ingin tambah, Bapak dan Emak langsung memberi. Bapak dan Emak khawatir, jika kami ingin minta tambah tapi tidak berani. Karena itu mereka duduk disamping kami dan menawarkan apa yang kami inginkan,” kata temanku Aman, mengenang masa kecil dulu.

Kebiasaan itu terjadi sudah dihafal oleh anak-anak di sekitar rumah. Bila Emak dan Bapak memanggil anak-anak untuk makan, maka anak-anak pun segera datang. Bahkan tidak sedikit yang membawa piring sendiri dari rumahnya.

“Beberapa anak-anak terkadang membawa piring sendiri dari rumah,” sambung Aman.

Kenangan itu tetap membekas di hati Aman hingga kini. Bahkan, sikap memberi makan yang dilakukan Emak tidak pernah berhenti hingga saat ini. Siapa saja yang datang kerumah maka mereka sudah seperti keluarga sendiri. Makan, tidur, dapat dilakukan dirumah seperti anak sendiri.

Pun demikian saat memasak gulai. Emak tidak lupa untuk memberi kepada para tetangga untuk mencicipinya.

Kata Emak, semua itu dilakukan karena Allah. “Memberi makanan kepada orang lain adalah tuntunan agama kita.”    


Penulis: Faisal Abdul Naser



0 komentar :

Posting Komentar