Perempuan seringkali menjadi kaum
yang tersingkirkan oleh segala kepentingan dalam kehidupan. Kepentingan, baik
secara ekonomi, budaya, sosial maupun hukum.
Bila
melihat dari peran perempuan dalam kehidupan, maka satu hal yang tidak dapat
dipungkiri adalah, kaum perempuanlah yang menjadi tulang punggung
perekonomian bangsa ini. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya keterlibatan
perempuan dalam berbagai bidang pekerjaan, walaupun umumnya berasal dari
kelas dua.
Para
perempuan itu bukan hendak menunjukan ketangguhannya pada dunia, tapi mereka
melakukan ini demi sebuah keharusan, demi sesuap nasi, demi keluarga, demi
anak, dan demi yang lainnya.
Pagi masih belum tertutup
gelap, Empus Talu, Takengon, seorang perempuan tua terlihat berjalan seorang
diri. Di pundaknya, sebuah keranjang berukuran sedang berayun pelan ke kanan
kini, maish kosong. Langkah kakinya terlihat menekan tanah meninggalkan bekas berbentuk
tapak kaki menidurkan rumput-rumput liar berukuran kecil.
Dinginnya
udara pagi bukan menjadi penghalang bagi perempuan itu. Seperti pagi-pagi
sebelumnya, dirinya segera menuju payau untuk memetik genjer yang
tumbuh liar. Sambil berhati-hati serta melepas sandal yang ia kenakan, mulailah
ia masuk kedalam payau. Membenamkam kakinya ke dalam lumpur. Satu persatu
genjer liar itu dipetik. Perempuan tua itu akan keluar dari payau berlumpur itu
setelah keranjangnya penuh.
Genjer itu
menjadi penopang kehidupannya. Karena, setelah dipetik akan segera dijual di
pasar pagi, Takengon, Aceh Tengah. Itulah salah satu rutinitas yang harus
dijalani Mak Tania. Usianya telah menginjak 75 Tahun. Genjer liar
merupakan lahan hidupnya selama ini, karena Mak Tanih seorang janda dan hidup
sebatangkara. Payau tempat memetik genjer itu bukanlah miliknya, melainkan
milik penduduk setempat, berupa areal persawahan yang tidak diurus dan
dibiarkan terbengkalai.
Saat
musim kemarau adalah saat-saat tersulit bagi Mak Tania. “Lahan Kehidupannya”
menjadi kering karena tidak ada air, sedangkan genjer hanya
hidup di lahan yang berair.
Jika kondisi seperti itu, maka Mak
Tania akan mencari tumbuhan lainnya yang bisa dijual, misalnya kankung liar dan
sejenisnya. Bahkan sesekali Mak Tania menerima bantuan dari masyarakat.
Namun Mak
Tania bukanlah sosok yang membutuhkan belas kasihan orang lain, karena dirinya
lebih menyukai bekerja daripada menerima. Karena itu, jika ada penduduk
setempat yang mengajaknya untuk memetik kopi, maka dengan senang hati Mak Tania
akan membantu. Dari pekerjaan itulah Mak Tania bisa mempertahankan dapurnya
untuk tetap berasap.
Dengan
usia yang telah lanjut, tentu kesehatan Mak Tania sangat rentan. Dan hal ini
diakui Mak Tania. Kakinya sering terasa kejang dan ngilu bila hendak tidur.
Akan tetapi bila setelah minum obat rematik yang dibelinya di apotik, rasa
ngilu itu berkurang.
Mak Tania
sebenarnya memiliki anak, namun anak-anaknya jauh dan jarang menjenguknya,
begitu pula dengan keluarga besarnya. Tanah untuk menjadi lahan berkebun pun
tak dimiliki Mak Tania.
Karena
itu, payau di sekitar rumahnya menjadi tumpuan utama Mak Tania. ”Saya dapat
merasakan dinginnya embun yang melekat dirumput-rumput tajam, merasakan perih
saat duri-duri melekat dikaki. Saya merasakan dingin yang membeku. Tapi saya
tetap harus melakukannya,” ujar Mak Tania, matanya mulai terlihat berkaca-kaca.
Dalam
sehari, bila sedang baik, seluruh genjer bisa habis terjual,
namun tidak jarang Mak Tania harus membawa pulang genjer yang
dipetiknya, karena tak laku di pasar.
Kegiatan
memetik genjer ini terus ia lakukan. Sering, tanaman liar itu habis karena
dipetik setiap pagi olehnya. Jika sudah begini, kerapkali ia mengandalkan hasil
tanaman dikebun-kebun tetangga yang berbaik hati untuk dijual kepasar. Misalnya
labu siam, labu jepang, jeruk nipis dan lain-lain dengan sistem bagi dua,
separuh untuk pemilik kebun dan separuhnya lagi untuk Mak Tania.
Kondisi
Mak Tania sungguh memprihatinkan. Bila genjer tidak laku tentu menjadi masalah
bagi Mak Tania, karena ia harus mengeluarkan ongkos becak untuk pergi dan
pulang dari pasar.
Permasalahan
lainnya, bagaimana jika suatu saat si pemilik payau itu ingin mengolah tanahnya
atau mendirikan bangunan diatas lahan yang menjadi lahan mata pencaharian Mak
Tania? Ke payau mana lagi Mak Tania harus berburu genjer?
Jika
kondisi itu terjadi, Mak Tania hanya bisa pasrah. Namun dirinya berusaha tetap
tabah menjalani semua kondisi ini. ”Yang pasti, saya akan melakukan apa yang
masih bisa saya lakukan, misalnya bekerja dikebun orang lain atau mencuci
pakaian tetangga,” ujarnya tenang.
Melihat
kondisi Mak Tania, ternyata aparat desa setempat tidak tinggal diam. karena,
aparat desa menjadikan Mak Tania selalu dimasukkan sebagai penerima bantuan,
apakah Bantuan Langsung Tunai (BLT), raskin atau sejenisnya.
Sebenarnya, menjadi perempuan payau bukanlah
keinginan Mak Tania, namun kehidupan telah mengantarnya kesana. Dan dirinya
ternyata tetap kuat dan mampu bersabar.
0 komentar :
Posting Komentar