Kebiasaan Emak dan almarhum Bapak yang sangat dikenal
adalah memberi makan. Kepada siapa saja dan kapan saja, rumah Emak ibarat
warung bagi siapapun. Bagi saudara, teman anak-anak Emak, teman Bapak dan para
tetangga. Semuanya makan apa yang kami makan di rumah. Tidak ada perbedaan
antara anak tetangga ataupun anak sendiri.
Selepas menjalani pendidikan, aku dan beberapa temanku
ditugaskan di Polda Sumatera Utara. Mereka tidur dan makan sebagaimana
yang aku lakukan tanpa ada perbedaan. Begitu pula yang Emak lakukan terhadap
teman-temanku. Jika teman-teman sakit dan membutuhkan bantuan, Emak akan ada
disamping kami.
Emak menyadari jika perwira-perwira muda itu belum
memiliki gaji dan belum ditempatkan di kesatuan. Hari-hari yang kami lalui pun
hanya sekedar melapor ke Polda setiap paginya, begitupun pada sore harinya.
Kami semua masih menunggu untuk di tempatkan.
“Mereka makan dan tinggal disini lama sekali, tapi
Emak tak pernah mempersoalakannya. Setiap pagi Emak pergi ke pasar, belanja dan
mamasak untuk mereka, tetapi Emak tidak pernah meminta sepeserpun uang dari
mereka. Emak ikhlas dan mereka semua sudah Emak anggak seperti anak sendiri,”
kata Emak.
“Emak yang beri makan mereka sebelum mereka dapat
gaji,” tambah Emak, mengenang teman-temanku.
Pernah suatu hari Emak membeli beras satu karung untuk
kebutuhan di rumah. Setiap memasak, Emak mengambil beras tersebut. Dan beras
itulah yang di makan Willy dan teman-teman lainnya. Tetapi alangkah terkejutnya
Emak, beras itu tidak pernah habis meskipun dimasak setiap hari. Padahal di
rumah sangat banyak orang.
Saat itu Emak merasa bingung. Setiap Emak ingin
memasak, mengapa beras tidak habis-habis. Padahal sudah lama sekali Emak tidak
beli beras. Berbulan-bulan Emak tidak beli beras. Hal ini seperti keajaiban,
karena sangat mustahil setiap hari di masak tetapi berasnya tidak pernah habis.
Hal itu selalu menjadi pertanyaan dalam benak Emak.
Tapi Emak tidak pernah menceritakan kejadian aneh itu kepada siapapun dirumah.
Emak mencoba menanyakan hal tersebut kepada salah seorang saudara yang
kebetulan memiliki pemahaman agama. Perihal beras itu Emak ceritakan.
Mendapat pertanyaan tersebut, saudara Emak tadi pun
terkejut dan berkata ; “Aduh Makcik, itu namanya berkah. Jangan di sebut-sebut,
nanti nggak berkah lagi. Makcik berbuat baik kepada orang, memberi makan orang
lain, itu yang buat beras di rumah Makcik nggak habis-habis”.
“Oo.. begitu ya, aku ngak tau,” jawab Emak polos.
Ternyata apa yang dikatakan saudara Emak benar adanya.
Keesokan harinya, saat Emak ingin memasak nasi, ketika Emak hendak mengambil
beras yang di simpan di belakang pintu, Emak sangat terkejut, beras hanya
tinggal untuk sekali masak, padahal kemarin beras itu masih banyak. Emak pun
teringat pada perkataan saudaranya kemarin.
“Mungkin karena Emak cerita hal itu kepada orang,
beras itu jadi habis. Gak berkah lagi,” gumam Emak dalam hati.
Semenjak saat itu Emak tidak pernah menceritakan hal
itu kepada siapapun. Namun, bulan-bulan selanjutnya, beras di rumah rasanya
cepat sekali habis. Emak harus membelinya setiap bulan.
Pengalaman yang Emak alami itu telah memberi pelajaran
berharga bagi Emak, bahwa kebaikan tidak perlu disampaikan kepada orang lain.
Karena kebaikan itu Allah yang membalasnya, bukan manusia.
Walau pun begitu, apa yang telah dilakukan selama ini
tetap Emak lanjutkan. Memberi makan kepada siapa saja, tanpa membedakan makanan
untuk anak kandung maupun anak-anak tetangga atau teman-temanku yang lainnya.
Beberapa teman kecilku masih mengingat bagaimana Emak
dan Bapak melayani mereka. Anak-anak di sekitar rumah Emak undang untuk makan
beramai-ramai. Emak dan Bapak tetap duduk sambil mengamati anak-anak yang
sedang makan dengan lahapnya.
Emak dan Bapak tidak akan beranjak sampai semuanya
selesai. “Bapak akan duduk bersama anak-anak. Jika ada anak-anak yang ingin
tambah, Bapak dan Emak langsung memberi. Bapak dan Emak khawatir, jika kami
ingin minta tambah tapi tidak berani. Karena itu mereka duduk disamping kami
dan menawarkan apa yang kami inginkan,” kata temanku Aman, mengenang masa kecil
dulu.
Kebiasaan itu terjadi sudah dihafal oleh anak-anak di
sekitar rumah. Bila Emak dan Bapak memanggil anak-anak untuk makan, maka
anak-anak pun segera datang. Bahkan tidak sedikit yang membawa piring sendiri
dari rumahnya.
“Beberapa anak-anak terkadang membawa piring sendiri
dari rumah,” sambung Aman.
Kenangan itu tetap membekas di hati Aman hingga kini.
Bahkan, sikap memberi makan yang dilakukan Emak tidak pernah berhenti hingga
saat ini. Siapa saja yang datang kerumah maka mereka sudah seperti keluarga
sendiri. Makan, tidur, dapat dilakukan dirumah seperti anak sendiri.
Pun demikian saat memasak gulai. Emak tidak lupa untuk
memberi kepada para tetangga untuk mencicipinya.
Kata Emak, semua itu dilakukan karena Allah. “Memberi
makanan kepada orang lain adalah tuntunan agama kita.”
Penulis: Faisal Abdul Naser
0 komentar :
Posting Komentar